Index

30 May 2014

Waktu

Terinspirasinya tulisan ini dari berita bahagia seorang teman yang akan menikah. Tiba-tiba airmataku tak kuasa kutahan, teringat akan waktu dan lajunya yang tak tampak.

Rasanya baru kemarin aku berbahagia karena lulus SMA, nyatanya kemarinlah aku menghadiri perisahan sebuah sekolah, namun bukan sebagai siswa, sebagai guru. Tak terasa bagiku, anak didik yang bersamaku ketika aku melaksanakan praktek mangajar telah menamatkan pendidikan wajib akhir mereka. Masih segar dibenakku betapa canggungnya pertama kali kutemui mereka di kelas dengan segala keluguan dan kecentilan khas siswa tahun pertama SMA. Dan kini mereka memelukku sambil tersedu, berkata terima kasih untuk segala kenangan indah, berbalas sendu akuberkata aku pun berterima kasih untuk segala pelajaran dan memori yang mereka bagikan cuma-cuma untukku.

Belum jua aku dapat melupakan bahagiaku menjadi seorang mahasiswa, bertemu teman dan sahabat yang benar-benar baru. Menikmati menegangkannya masa berpacu dengan detik karena memilih mengerjakan tugas pada masa tenggat. Tertawa bersama dalam waktu-waktu luang yang kami pilih habiskan mencari tempat dan makanan indah. Mengadu dalam kesal dan tangis karena tak puas akan hasil akhir belajar semesteran. Berbagi bisikan malu dan tersipu ketika hanya dapat mengagumi abang-abang leting. Masa-masa kuliah pun tak kalah indah dengan SMA.

Namun kini tahu-tahu kami sudah menyelesaikan masa studi kami. Berbeda nasib pun kami jalani. Rasanya hampir tak percaya teman yang dulu bersama kini telah dipinang orang. Rasanya hampir tak percaya waktu dan nasib telah memisahkan kegiatan kami yang biasa kami habiskan bersama.

Bukan aku tak bahagia, karena sejatinya bukan cuma bahagia namun syukur yang tak berbatas yang kurasa. Namun sering terbesit dalam benak, betapa cepatnya sang waktu berlalu. Dia bergulir dengan hanya sedikit tanda. Kesuksesan, pernikahan, kelahiran, dan kematian. Sementara masih sangat banyak angan yang belum tercapai, cita-cita yang masih harus diraih, asa yang masih menggantung. Akankah cukup masaku dan masa kami?

Dalam hatiku berdoa, Ya Rabbi…. Genggamlah mimpi kami bersama-Mu. Mudahkanlah jalan kami, berkahi kami dengan kasih dan sayangmu wahai Engkau Pemilik Segalanya.

Banda Aceh, 30 Mei 2014

RnJ 

Image by: http://www.linkedin.com/

18 August 2013

Balada Merdeka Tujuh Belasan

Banyak orang mempertanyakan arti kemerdekaan saat bangsa masih hidup menderita, dililit hutang dan sengsara.
Banyak orang menyalahkan pihak-pihak tertentu akan semua yang terjadi pada ibu pertiwi.
Membeberkan kebrobokan bangsa di sosial media, menyorot sikap tak layak segelintir orang.

Namun, mari kita merenung, mengapa semuanya harus kita mulai dari sisi orang lain?
Menyalahkan mereka, mencaci mereka.
Bukankah refleksi diri adalah sesuatu yang lebih baik?
Mungkin jika Pertiwi dapat bersuara bisa saja dia berkata, "Hai anak bangsa! Mengapa kau terus mempertanyakan makna kemerdekaan pada orang lain? Bukankah lebih baik kau tanya dirimu sendiri, sudahkah aku mengisi kemerdekaan sebaik-baiknya?"

Sudahkah kita mengisi kemerdekaan itu?
Sudahkah kita meyumbang bakti untuk negara?
Menghabiskan waktu berinovasi, bukannya duduk di warung kopi.
Sudahkah kita membayar pajak?
Sudahkah kita taat peraturan? Tidak melanggar lampu merah, mengenakan helmet, hingga mengurangi kecelakaan dan kemacetan.
Sudahkah kita berbudaya antri juga bersih? Tidak membuang sampah sembarangan.
Sudahkah kita menjaga fasilitas umum?
Sudahkah kita memiliki kesadaran diri untuk menaati hukum?

Pantaskah kita mempertanyakan arti kemerdekaan jika semua jawaban atas pertanyaan diatas adalah "Belum"

Mari berandai-andai, jika setiap anak bangsa dapat mengisi kemerdekaan sebaik-baiknya.
Memulainya dari diri sendiri, melakukan hal-hal kecil yang menjadi kebiasaan besar.
Bukannya sibuk mempertanyakan hal pada orang lain.

Maka mungkin saja Indonesia akan lebih baik lagi.
Mungkin saja, bukanlah sesuatu hal yang mustahil.
SAYOONARA !!! suwon yo !!!! ^^